Judul Buku : Khotbah Di Atas Bukit
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Diva Press dan MataAngin
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Halaman : 223 Halaman
ISBN : 978-602-391-403-6
"Itu villa kita, Pop. Tertutup kabut. Dari jauh nampak gelap, tetapi segera setelah kita sampai, akan ternyata tempat itu tenang seperti di sini juga." (Khotbah Di Atas Bukit, hlm. 10)
Buku ini berkisah tentang Barman, seorang pria tua yang memiliki keresahan dalam dirinya. Ia selalu ingin menjauh dari keramaian yang selama ini dirasa telah membelenggu hidupnya. Anaknya, Bobi, mengirimkan ayahnya bersama seorang wanita muda ke sebuah villa yang terletak di daerah pegunungan. Jauh dari keramaian dan hingar-bingar kota.
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Penulis begitu cerdas sehingga kita benar-benar dibawa "jalan-jalan" ke berbagai tempat seperti gunung, taman, hutan, bukit, pasar, dan juga rumah Barman bersama wanita muda yang menemaninya. Dengan penggunaan bahasa yang santai dan diksi yang mudah dipahami, maka boleh dikatakan bahwa buku ini bisa dibaca oleh berbagai kalangan. Cerita di dalam novel ini juga kaya akan perenungan-perenungan.
"Begitulah hidup, kita hilang entah ke mana. Tak diketahui." (Khotbah Di Atas Bukit, hlm.27)
Hidup dungu seperti ini adalah dosa, pikirnya. Orang-orang yang siang hari hilir mudik dan melepaskan hidup siang hari tanpa mengambil kebijaksanaan. Itu dosa, Nak. (Khotbah Di Atas Bukit, hlm.135)
Untuk apa memberi nama kalau sebenarnya kita hanyalah bagian dari sesuatu yang besar. (Khotbah Di Atas Bukit, hlm.137)
Alur cerita dalam novel ini terbilang susah ditebak. Jika dalam novel-novel tertentu kita kerap melompati halaman yang isinya mudah ditebak, maka hal tersebut tidak berlaku saat kita membaca novel karya Kuntowijoyo ini. Agaknya butuh keheningan dan kefokusan yang ekstra untuk bisa memahami keseluruhan isi ncerita.
Kelemahan di buku ini yaitu perihal penguatan karakter dalam setiap tokoh. Penulis tidak memaparkan secara jelas bagaimana tokoh-tokoh ini "mengemban" tugasnya masing-masing dalam cerita. Untuk beberapa bagian, mungkin pembaca akan sedikit mengalami kebingungan sebab dalam sebuah pristiwa, penulis tidak menjelaskan sebab-akibat.
Misalnya saja dalam kematian Humam, seorang pria tua yang kedatangannya kerap mengganggu pikiran Barman, sang tokoh utama yang diceritakan dalam novel ini. Juga tentang kepergian Popi setelah kematian Barman terkesan aneh dan membingungkan. Tidak dijelaskan mengapa Popi yang selama menemani Barman sehingga melupakan masa lalunya yang suram harus kembali lagi ke masa lalunya itu.
Di akhir cerita, pembaca harus mampu menjaga pikiran agar tetap waras. Jalan pikiran Barman yang naif tidak hanya mampu menghipnotis orang-orang di pasar, di bukit, di hutan, di rumah Humam, tapi juga mampu mengacaukan pikiran pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar