body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Rabu, 11 September 2019

Untuk Bapak




Bapak, anakmu tumbuh tidak seperti yang kau harapkan.

Dia telah berjalan ke sana-sini.
Tak ada yang ia temui.

Kesedihan, luka, duka, dan duri setiap saat membersamainya, bapak.

"Hei, cari bahagiamu sendiri," teriak orang-orang.

Tapi mereka tidak tahu, bapak, bahwa bahagia tidak dicipta sendirian.

Anakmu kini tidak ubahnya sampah, bapak.

 Dihinakan dan dipijak-pijak harga dirinya.

Apa dengan mati berkali-kali dulu baru kita merasakan hidup yang sebenarnya, bapak?

Atau hidup lebih lama untuk merasakan luka dan kemudian mati?

Bapak, beri aku jawaban.

Medan, 11 September 2019

14 komentar: