body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Selasa, 11 Oktober 2016

Tertinggal


Ada seseorang yang membawaku sampai aku berada di tempat yang sekarang ini. Sunyi, gelap, sendiri, dan aku lupa jalan untuk kembali. Aku –mungkin- telah berjalan terlalu jauh dengannya. Perjalanan yang indah. Dia yang membawaku sejauh ini. Dia bilang, “Kita sudah hampir sampai di tempat tujuan kita. Bersabarlah.”

Ya, kami berjalan tentu memiliki tujuan. Tapi sebenarnya kami menyadari bahwa jalan yang kami tempuh adalah salah. Seringkali naluri menolak dan berkata, “Hei sadarlah! Kau sudah berjalan terlalu jauh.” Lalu aku ingatkan dia akan hal ini dan dia menenangkanku, “Jangan takut. Aku akan terus menjagamu sepanjang perjalanan kita ini. Kita manfaatkan cahaya ini sama-sama.” Maka aku ikuti dia. Walau kutahu dari lubuk hatinya yang paing dalam dia tidak menginginkan semua ini. Dia takut melewati jalan yang mengerikan ini. Dia ingin pulang. Sama sepertiku.

Tapi kami tetap berjalan, terus berjalan. Sampai pada akhirnya kami mulai lelah. Kami mulai menyadari bahwa jalan yang kami tempuh adalah salah. Seberapa kuat pun kami meyakinkan diri bahwa kami akan sampai di tujuan itu, tetap saja hati meminta kami berhenti berjalan. Putar balik. Mencari jalan yang lebih mulus, terang, dan ramai.

Entah mengapa jalan yang sunyi dan mengerikan ini membuatku nyaman. Mungkin karena di sepanjang perjalanan ia selalu menghiburku, menyanyikan lagu-lagu romantic, dan membacakan puisi-puisi indah, menenangkan. Aku merasa tidak ingin pulang. Aku yang sudah merasa berjalan sangat jauh mencoba meyakinkan dia berkali-kali. Seperti yang pernah dilakukannya padaku saat itu. Tapi dia tetap tidak mau, dia ingin pulang. Bagaimana mungkin seorang yang memberiku keyakinan untuk terus berjalan justru malah berbalik arah untuk pulang?

Aku marah, aku kesal. Aku mengutuk kebodohanku dan meratapi keegoisannya. Mengapa saat aku ingin pulang ia justru menggenggam tanganku dan terus menuntunku berjalan bersama? Sedang saat dia ingin pulang dan aku memintanya untuk tetap berjalan, ia menolak? Bahkan ia bilang, “Kita tidak seharusnya melewati jalan ini!”

Apa ini? Apa maksudnya? Bukankah dia yang membawaku sejauh ini? Ya, aku menuruti keinginannya (lagi). Dia pulang, aku pulang, kami pulang. Di sepanjang perjalanan pulang dia berbeda. Dia tidak coba menghiburku, menuntunku. Dia biarkan aku berjalan sendirian.

Di belakangnya. Bahkan saat aku terjatuh pun dia tidak peduli, dia berjalan terus, terus, dan terus. Tanpa melihat ke belakang. Melihatku yang mulai lelah dan hancur karena jalan ini dan karena sikapnya ini. Aku denagn segala kebodohanku membiarkan dia yang telah jauh meninggalkanku. Dengan harapan dia akan menyadari bahwa aku masih tertinggal jauh di belakang dan kemudian dia datang menjemputku untuk pulang.




Medan, 3 September 2016 [00.07]




3 komentar: