body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Sabtu, 22 September 2018

Lupa dan Maaf


"Memang kenapa kalau aku suka mengungkit-ungkit?"
"Nggak baik itu."
"Ah, biar!"
"Ya sudah. Memangnya aku perduli?"

Serli meletakkan lagi secangkir teh yang masih hangat itu. Seharusnya pagi diawali dengan kebahagiaan. Seperti tertawa misalnya. Tapi pagi ini Serli dan suaminya, Rafli, membahas sesuatu yang selalu berusaha mereka hindari. Rafli merasa apa yang dilakukannya akhir-akhir ini adalah upaya untuk memperbaiki kesalahannya. Serli masuk ke kamarnya dan menangis. Rafli tahu bahwa istrinya tersinggung atas pertanyaannya kemarin sore. Tidak seharusnya Rafli menanyakan kemana saja dan bersama siapa Serli pergi karena sebelumnya Serli juga sudah memberi tahu Rafli.

"Aku minta maaf." 
"Kan kemarin aku sudah kasih tahu kamu, aku mau kemana," suara Serli melemah.
"Aku terlalu curiga."
"Iya. Sampai kamu bentak aku."
"Maaf, Sayang."

Rafli memeluk istrinya dan coba menenangkannya. Sikap Rafli yang begitu bukan tanpa alasan. Dia memiliki ketakutan sendiri akan masa lalunya. Dia pernah dekat dengan seorang wanita, teman kuliahnya dulu. Kedekatannya dengan teman lamanya itu terjadi selama beberapa bulan. Serli yang mengetahui hal itu langsung meminta cerai dari suaminya. Namun, dengan permintaan maaf yang tulus dari suaminya dan nasehat-nasehat dari keluarga mereka untuk tidak bercerai, akhirnya Serli memaafkan suaminya. Wanita memang mudah memaafkan tapi sulit baginya untuk melupakan. Pagi itu Serli merasa kesal dengan suaminya, entah kenapa.

"Kamu pernah nggak membentak Pinna seperti kamu membentak aku kemarin?"
"Kamu kenapa sih?"
"Enggak. Aku cuma tanya aja."
"Aku nggak tahu."
"Nggak pernah ya? Wajar sih, kamu kan sayang sama dia," Serli berbicara sambil membuat teh, membelakangi suaminya. Matanya mulai berair.

"Ser, sebenarnya bisa nggak sih kamu maafin kesalahan aku?"
"Kalau aku nggak bisa, aku nggak di sini bersama kamu."
"Tapi kenapa kamu terus menerus seperti ini?"
"Karena kamu terlalu curiga!" Serli berbicara dengan keras tapi dia tetap membelakangi suaminya. Dia menangis.
"Aku seperti itu juga karena aku sayang kamu, Ser. Aku takut kamu pergi. Tapi kekhawatiran aku malah buat kamu ungkit-ungkit masa lalu aku, kesalahan aku."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar