Judul : Bumi Manusia (2019)
Sutradara : Hanung Bramantyo
Genre : Drama
Cast : Iqbal Ramadhan, Mawar Eva, Sha Ine Febriyanti, Ayu Laksmi, Donny Damara, Bryan Damani, Giorgino Abraham, Jerome Kurniawan
Durasi : 3 jam 1 menit
Rating : (Update Soon)
Bumi Manusia merupakan film yang diadaptasi dari sebuah roman fenomenal karya Pramoedya Ananta Toer, dengan judul yang sama. Tepatnya tahun lalu, berita tentang akan difilmkannya Bumi Manusia mengalami pertentangan dari beberapa pihak yang menyebut dirinya "pegiat sastra".
Agaknya beberapa pertentangan tersebut tidak perlu diuraikan kembali. Let it gone by gone~
***
Kali pertama aku ke bioskop sendiri hanya untuk melihat "Bumi Manusia" dalam bentuk audio visual. Aku kira kemarin itu adalah waktu yang pas buat nonton karena itu masih hari kerja dan masih -bisa dibilang- pagi pula. Dimana anak-anak alay dari golongan "pecinta Iqbal" masih pada sekolah. Wkwkwk.
Menurutku harus bener-bener fokus kalau mau nonton film ini. Ya, bayangin aja kalau para Soniq (nama untuk para Fans Iqbal Ramadhan) bakal teriak-teriak saat ada adegan ranjang Minke dan Annelies yang diperankan oleh si Iqbal dan lawan mainnya, Mawar. Kan, kalau para Soniq teriak histeris, bisa buyar konsentrasimu saat menikmati adegan ranjangnya jalan ceritanya.
Lanjut~
Film ini berhasil membawa penonton berasa hidup di masa lampau di mana Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda masih di bawah jajahan bangsa Eropa.
Diawali dengan teriakan Robbert Suurhof (Jerome Kurnia) saat membangunkan Minke dalam bahasa Belanda yang -menurutku- sangat fasih, benar-benar mampu membuat mulutku berhenti ngunyah Pop Corn.
Juga kemampuan Iqbal berbahasa Belanda sekaligus Jawa yang baik, sungguh sangat di luar dugaanku.
Alur cerita yang ditampilkan tidak lari dari apa yang telah ditulis di roman itu sendiri. Bagi kalian yang pernah baca romannya, mungkin bisa sedikit lebih tenang sebab bisa memahami maksud dari setiap dialog dan adegan yang coba dihadirkan sang sutradara.
Adegan-adegan dan dialog yang dibawakan oleh para pemeran cukup menguras emosi. Benar-benar kau akan dibawa ke jaman doeloe.
Namun, bagi yang belum pernah membaca bukunya, aku rasa ini berat. Ada hal-hal yang tiba-tiba terjadi tanpa tau sebabnya. Misalnya saja seperti adegan di ladang saat Robbert Mellema, abang kandung Annelies yang memperkosa adik kandungnya sendiri. Tidak dijelaskan kenapa Robbert melakukan itu dan apa apalasannya. Juga tidak dijelaskan mengapa Annelies tidak mengadu pada Nyai Ontosoroh, mamanya. Kenapa ini harus dijelaskan? Ya karena penting. Biar gak salah paham.
Untuk Iqbal sendiri, aku rasa dia terlalu ekspresif. Dari semua Tetralogi Pulau Buru yang telah kubaca, Minke itu karakter yang tenang dan di Bumi Manusia, Minke mengalami kegelisahan tentang "dunia modern" dan segala permasalahan yang ada di Bumi. Terutama permasalahan bangsanya.
Sayang, film berdurasi 3 jam ini minim "history-implisit". Malah lebih kepada menampilkan kisah percintaan Minke dan Annelies.
Tokoh-tokoh lain seperti Jean Marais, May, Darsam, Juffrouw Magda Peters sangat minim perannya dalam melengkapi cerita di film ini. Belum lagi de la Croix sekeluarga yang entah kenapa bisa dekat dengan Minke tidak diceritakan.
Dan hal yang sedikit buat aku kecewa adalah minimnya kata-kata bijak yang khas dari Pramoedya. Padahal, "roh" dari roman ini mampu menghipnotis para pembacanya. Kukira akan terjadi juga di filmnya. Sayangnya, enggak.
Terakhir, adegan dimana Annelies dibawa pergi ke Belanda oleh abang tirinya, Maurits Mellema, cukup menguras emosi. Hanya saja kok adegan itu soundtrack-nya "Ibu Pertiwi" yang dinyanyikan oleh Iwan Fals, Once dan Fiersa Besari? Heran akutu. Hubungannya apa? Wkwkwk.
Memang soundtracknya itu dibuat jadi sedih banget gitu, tapi enggak ada korelasinya. Itu menurutku lho ya.
Udah deh segitu aja. Ntar jadi spoiler lagi kalau banyak-banyak. Ihihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar