body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Minggu, 27 Oktober 2019

Perkara Jatuh Cinta


Gadis kecil itu masih sibuk membacai komiknya. Sebentar-sebentar dia mengalihkan pandangan. Melihat ke sekeliling, barangkali dia jumpai lagi wanita yang tiap sore duduk di dekatnya. Mengoceh. Bercerita tentang masa lalunya dan kehidupannya.
"Aku habis dikejar anjing!"

Wanita yang ditungguinya datang dengan napas yang tidak beraturan. Anak-anak rambut masuk ke mulutnya yang sibuk berceloteh tentang anjing milik Pak Yehuda. Sudah kali ketiga wanita itu dikejar anjing dan lari-lari begini.

"Kan sudah kubilang, kau lewat belakang saja."
"Dari pemakaman tua itu?"
"Iya. Kan kau takut anjing."
"Tapi aku lebih takut setan."
"Setan itu hanya ada dalam pkiranmu. Sama seperti dirinya."
"Ah! Kau ini!"

Setelah mengatur napas dan merasa tenang, ia duduk di samping gadis kecil itu. Sementara gadis itu masih sibuk membacai komiknya.

"Sudah makan, Wa?"
Yang ditanyai diam saja. Masih sibuk dengan bacaannya.
"Nawa, kau begitu kecil untuk menjadi pendengarku selama ini. Tapi aku terus saja bercerita padamu. Tidak pernah merasa bosan. Apa kau bosan?"
"Sesekali memang bosan. Tapi aku tetap ingin mendengar."
"Jadi, sudah sampai halaman berapa?"
"Bercerita saja lah, aku akan dengar."

Wanita itu diam saja, entah sedang memikirkan apa. Mungkin mencari-cari urutan cerita. Akankah ia mulai dari awal atau akhir.
"Bulan depan aku menikah."
"Akhirnya kau menemukan bahagiamu, ya."
"Aku bersyukur sekali. Ternyata semua hanya masalah waktu."
"Kan sudah kubilang ..."
"Ya-ya-ya, jangan lanjutkan!"

Wanita itu tampak kesal.
"Padahal waktu itu ..."
"Kau tidak bisa melupakannya?"
"Aku belum selesai!"

Nawa, si gadis kecil, menutup komiknya, memperhatikan wanita itu berbicara.
"Padahal waktu itu aku merasa takut untuk kembali mencintai dan dicintai. Aku merasa ada kesakitan yang luar biasa."
"Kau tidak pernah bercerita kalau sedang menjalin hubungan dengan seorang pria. Kau dijodohkan?"
"Ha-ha-ha. Aku ingin mencintai, bukan dipaksa untuk mencintai. Memang, aku tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang dirinya. Aku ingin membuat semesta terkejut."
"Aku tidak terkejut."
"Kalau begitu, mengapa kau berhenti membaca? Jelas sekali kau ingin tau banyak tentang dirinya."

***
Aku terbangun dengan mata sembab. Aku tidak tahu pasti dari mana sembab di mataku ini berasal. Apa karena tidur yang terlalu lama atau karena tangisku sebelum aku tertidur? Kehidupan terlihat begitu gelap, sehingga ketika aku berjalan, aku sering terjatuh.

Aku ingin bercerita tentang temanku. Nawa, dia berusia 15 tahun, tinggi 152 cm, rambutnya pendek sebahu. Kemanapun Nawa pergi, selalu ada buku yang dia bawa. Entah itu novel, komik atau buku pelajaran. Aku mengenalnya saat aku pulang dari -yang kusebut- pelarianku sekitar 3 minggu yang lalu. Aku melihatnya duduk di bawah pohon besar. Sendirian.

Awalnya aku takut menyapa, aku kira dia setan. Tapi, mana mungkin ada setan di siang bolong begini? Aku begitu banyak mengira-ngira. Mungkin dia umpan para perampok, yang ketika aku dekati, malah aku menjadi korban perampokan. Atau mungkin dia hanya halusinasiku, sebab kata orang, pohon ini angker walau di siang bolong sekalipun.
***
"Apa ini hukuman?"
"Bisa jadi."
"Masa orang jatuh cinta dihukum?"

"Jika seseorang jatuh cinta dengan cara yang salah, Tuhan menghukumnya."
Dia terlalu dewasa untuk berbicara tentang cinta. Entah buku apa saja yang telah dibacanya. Mungkin dia mengutip kata-kata dan syair-syair dari para pecinta. Tapi bagiku, dia terlalu dewasa untuk semua ini. Dia harus bertingkah seperti anak-anak seusianya.
"Jangan ajari aku untuk bersikap seperti anak-anak seusiaku," protesnya suatu kali.

Nawa bilang, aku sedang dihukum Tuhan. Aku hanya jatuh cinta, tapi kenapa Tuhan menghukumku sebegitu parahnya?
"Begini, kau memuja Tuhan, memohon kebahagiaan dari-Nya. Ketika Dia memberimu kebahagiaan itu, kau tidak lagi memujanya. Kau memuja kebahagiaan yang Dia beri. Tuhan menghukummu, biar mendapat perhatian darimu."
"Bukankah kita yang harus mencari perhatian dari-Nya?"
"Ya begitulah. Tuhan kan Maha Unik."
"Tuhan bisa cari perhatian juga ya?"
"Biar kau dekat terus dengan-Nya."

"Harus dengan cara menyakitkan begini?"
"Kau abai saat Dia memberikan perhatian-Nya padamu dalam bentuk kebahagiaan. Justru dengan cara-cara menyakitkan kau baru ingat Dia. Jangan salahkan Tuhan, salahkan dirimu yang tidak bisa memaknai dan menghargai perhatian-Nya."
"Ya-ya-ya. Lalu, apakah dia akan menghukumku dalam waktu yang lama?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Menurutku Tuhan itu Maha Tidak Tega. Nggak mungkin dia biarkan aku merasai ini lama-lama."
"Jadi, sebentar lagi akan berakhir?"
"Tidak tahu juga. Rasaku ini juga sudah terlalu lama."
"Bodoh!"

***
"Nawa. Nawaitu!"
"Apa?"
"Kakak-kakak yang katamu sering nemenin kamu itu siapa sih namanya? Lupa aku."
"Jebakan. Aku kan belum pernah kasih tau ke kamu soal namanya."
"Oalah. Hehehe. Ya sudah deh, ke kantin yuk?"
Aku berjalan ke kantin bersama Alya dengan malasnya. Tapi, aku merasa tidak enak juga kalau menolak ajakannya. Alya itu sahabatku dari SD. Kami selalu sekelas. Mungkin karena itu aku lebih dekat dengan Alya ketimbang teman-teman lainnya. 

"Naw, kemarin waktu kamu nggak masuk, kami dimarahi Bu Heni." Alya tiba-tiba menghentikan makannya, melotot kepadaku yang berada tepat di depannya. Terus saja berceloteh tentang Bu Heni. 
"Dia itu guru apa sih? Heran aku!"
"Guru Ekonomi kita. Lupa kamu?"
"Eh, maksudku, guru macam apa dia? Masa setiap ngajar, marah terus. Jadi, kemarin itu si Rizky mau ke kantor buat isi tinta spidol. Baru aja dia mau berdiri dan permisi ke Bu Heni, malah dibentak. Terus si Rizky jelasin deh sebenarnya dia itu mau kemana, dan Bu Heni bilang, 'Makanya, ngomong dulu sebelum bergerak'."

"Hahaha. Kasihan Rizky. Bu Heni kok ngga berubah-ubah ya dari awal kita masuk sekolah?"
"Iya, Naw, mungkin Bu Heni itu ada masalah di rumahnya. Itu kata mamaku sih. Soalnya kalau kita sering diomelin Bu Heni, aku selalu cerita ke mamaku."
"Kira-kira masalah apa ya, Al?"
"Kata mamaku kita masih kecil nggak akan tau dan nggak boleh tau masalah orang dewasa."
"Kata mamamu mulu. Katamu gimana?"
"Kataku, kita jam istirahat kedua ngga usah ke kantin ya. Uangku udah abis."
"Dih, Alya!"



7 komentar:

  1. Suka bgt ceritanya ka.
    Ok jadi nawa adalah hantu kalo menurutku, dan cerita akhir, adalah kisah nawa dulunya.
    Jejak dh.. Hihi

    BalasHapus
  2. Di situasi awal, "wanita itu" lagi ngobrol sama siapa, sih? Sebelum ada dialog sama Nawa.

    BalasHapus
  3. Di situasi awal, "wanita itu" lagi ngobrol sama siapa, sih? Sebelum ada dialog sama Nawa.

    BalasHapus
  4. Waah ceritanya keren, bacanya pengen lagi dan lagi.

    BalasHapus
  5. Sempet gafok...tapi keren setelah baca lagi 😊

    BalasHapus
  6. Wahhh, sukak sama ide ceritanya 😍

    BalasHapus