Minggu, 27 Oktober 2019
Perkara Jatuh Cinta
Gadis kecil itu
masih sibuk membacai komiknya. Sebentar-sebentar dia mengalihkan pandangan.
Melihat ke sekeliling, barangkali dia jumpai lagi wanita yang tiap sore duduk
di dekatnya. Mengoceh. Bercerita tentang masa lalunya dan kehidupannya.
"Aku habis
dikejar anjing!"
Wanita yang
ditungguinya datang dengan napas yang tidak beraturan. Anak-anak rambut masuk
ke mulutnya yang sibuk berceloteh tentang anjing milik Pak Yehuda. Sudah kali
ketiga wanita itu dikejar anjing dan lari-lari begini.
"Kan sudah kubilang, kau lewat belakang
saja."
"Dari pemakaman tua itu?"
"Iya. Kan kau takut anjing."
"Tapi aku lebih takut setan."
"Setan itu hanya ada dalam pkiranmu.
Sama seperti dirinya."
"Ah! Kau ini!"
Setelah mengatur napas dan merasa tenang,
ia duduk di samping gadis kecil itu. Sementara gadis itu masih sibuk membacai
komiknya.
"Sudah makan, Wa?"
Yang ditanyai diam saja. Masih sibuk
dengan bacaannya.
"Nawa, kau begitu kecil untuk
menjadi pendengarku selama ini. Tapi aku terus saja bercerita padamu. Tidak
pernah merasa bosan. Apa kau bosan?"
"Sesekali memang bosan. Tapi aku
tetap ingin mendengar."
"Jadi, sudah sampai halaman
berapa?"
"Bercerita saja lah, aku akan
dengar."
Wanita itu diam saja, entah sedang
memikirkan apa. Mungkin mencari-cari urutan cerita. Akankah ia mulai dari awal atau
akhir.
"Bulan depan aku menikah."
"Akhirnya kau menemukan bahagiamu,
ya."
"Aku bersyukur sekali. Ternyata
semua hanya masalah waktu."
"Kan sudah kubilang ..."
"Ya-ya-ya, jangan lanjutkan!"
Wanita itu tampak kesal.
"Padahal waktu itu ..."
"Kau tidak bisa melupakannya?"
"Aku belum selesai!"
Nawa, si gadis kecil, menutup komiknya,
memperhatikan wanita itu berbicara.
"Padahal waktu itu aku merasa takut
untuk kembali mencintai dan dicintai. Aku merasa ada kesakitan yang luar
biasa."
"Kau tidak pernah bercerita kalau
sedang menjalin hubungan dengan seorang pria. Kau dijodohkan?"
"Ha-ha-ha. Aku ingin mencintai,
bukan dipaksa untuk mencintai. Memang, aku tidak pernah bercerita pada siapa
pun tentang dirinya. Aku ingin membuat semesta terkejut."
"Aku tidak
terkejut."
"Kalau
begitu, mengapa kau berhenti membaca? Jelas sekali kau ingin tau banyak tentang
dirinya."
***
Aku terbangun
dengan mata sembab. Aku tidak tahu pasti dari mana sembab di mataku ini
berasal. Apa karena tidur yang terlalu lama atau karena tangisku sebelum aku
tertidur? Kehidupan terlihat begitu gelap, sehingga ketika aku berjalan, aku
sering terjatuh.
Aku ingin
bercerita tentang temanku. Nawa, dia berusia 15 tahun, tinggi 152 cm, rambutnya
pendek sebahu. Kemanapun Nawa pergi, selalu ada buku yang dia bawa. Entah itu
novel, komik atau buku pelajaran. Aku mengenalnya saat aku pulang dari -yang
kusebut- pelarianku sekitar 3 minggu yang lalu. Aku melihatnya duduk di bawah
pohon besar. Sendirian.
Awalnya aku takut
menyapa, aku kira dia setan. Tapi, mana mungkin ada setan di siang bolong
begini? Aku begitu banyak mengira-ngira. Mungkin dia umpan para perampok, yang
ketika aku dekati, malah aku menjadi korban perampokan. Atau mungkin dia hanya
halusinasiku, sebab kata orang, pohon ini angker walau di siang bolong
sekalipun.
***
"Apa ini
hukuman?"
"Bisa
jadi."
"Masa orang
jatuh cinta dihukum?"
"Jika
seseorang jatuh cinta dengan cara yang salah, Tuhan menghukumnya."
Dia terlalu
dewasa untuk berbicara tentang cinta. Entah buku apa saja yang telah dibacanya.
Mungkin dia mengutip kata-kata dan syair-syair dari para pecinta. Tapi bagiku,
dia terlalu dewasa untuk semua ini. Dia harus bertingkah seperti anak-anak
seusianya.
"Jangan
ajari aku untuk bersikap seperti anak-anak seusiaku," protesnya suatu
kali.
Nawa bilang, aku
sedang dihukum Tuhan. Aku hanya jatuh cinta, tapi kenapa Tuhan menghukumku
sebegitu parahnya?
"Begini, kau
memuja Tuhan, memohon kebahagiaan dari-Nya. Ketika Dia memberimu kebahagiaan
itu, kau tidak lagi memujanya. Kau memuja kebahagiaan yang Dia beri. Tuhan
menghukummu, biar mendapat perhatian darimu."
"Bukankah
kita yang harus mencari perhatian dari-Nya?"
"Ya
begitulah. Tuhan kan Maha Unik."
"Tuhan bisa
cari perhatian juga ya?"
"Biar kau
dekat terus dengan-Nya."
"Harus
dengan cara menyakitkan begini?"
"Kau abai
saat Dia memberikan perhatian-Nya padamu dalam bentuk kebahagiaan. Justru
dengan cara-cara menyakitkan kau baru ingat Dia. Jangan salahkan Tuhan,
salahkan dirimu yang tidak bisa memaknai dan menghargai perhatian-Nya."
"Ya-ya-ya.
Lalu, apakah dia akan menghukumku dalam waktu yang lama?"
"Menurutmu
bagaimana?"
"Menurutku
Tuhan itu Maha Tidak Tega. Nggak mungkin dia biarkan aku merasai ini
lama-lama."
"Jadi,
sebentar lagi akan berakhir?"
"Tidak tahu
juga. Rasaku ini juga sudah terlalu lama."
"Bodoh!"
***
"Nawa.
Nawaitu!"
"Apa?"
"Kakak-kakak
yang katamu sering nemenin kamu itu siapa sih namanya? Lupa aku."
"Jebakan.
Aku kan belum pernah kasih tau ke kamu soal namanya."
"Oalah.
Hehehe. Ya sudah deh, ke kantin yuk?"
Aku berjalan ke
kantin bersama Alya dengan malasnya. Tapi, aku merasa tidak enak juga kalau
menolak ajakannya. Alya itu sahabatku dari SD. Kami selalu sekelas. Mungkin
karena itu aku lebih dekat dengan Alya ketimbang teman-teman lainnya.
"Naw,
kemarin waktu kamu nggak masuk, kami dimarahi Bu Heni." Alya tiba-tiba
menghentikan makannya, melotot kepadaku yang berada tepat di depannya. Terus
saja berceloteh tentang Bu Heni.
"Dia itu
guru apa sih? Heran aku!"
"Guru
Ekonomi kita. Lupa kamu?"
"Eh,
maksudku, guru macam apa dia? Masa setiap ngajar, marah terus. Jadi, kemarin
itu si Rizky mau ke kantor buat isi tinta spidol. Baru aja dia mau berdiri dan
permisi ke Bu Heni, malah dibentak. Terus si Rizky jelasin deh sebenarnya dia
itu mau kemana, dan Bu Heni bilang, 'Makanya, ngomong dulu sebelum
bergerak'."
"Hahaha.
Kasihan Rizky. Bu Heni kok ngga berubah-ubah ya dari awal kita masuk
sekolah?"
"Iya, Naw,
mungkin Bu Heni itu ada masalah di rumahnya. Itu kata mamaku sih. Soalnya kalau
kita sering diomelin Bu Heni, aku selalu cerita ke mamaku."
"Kira-kira
masalah apa ya, Al?"
"Kata mamaku
kita masih kecil nggak akan tau dan nggak boleh tau masalah orang dewasa."
"Kata mamamu
mulu. Katamu gimana?"
"Kataku,
kita jam istirahat kedua ngga usah ke kantin ya. Uangku udah abis."
"Dih, Alya!"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Suka bgt ceritanya ka.
BalasHapusOk jadi nawa adalah hantu kalo menurutku, dan cerita akhir, adalah kisah nawa dulunya.
Jejak dh.. Hihi
Duh seremπ
HapusDi situasi awal, "wanita itu" lagi ngobrol sama siapa, sih? Sebelum ada dialog sama Nawa.
BalasHapusDi situasi awal, "wanita itu" lagi ngobrol sama siapa, sih? Sebelum ada dialog sama Nawa.
BalasHapusWaah ceritanya keren, bacanya pengen lagi dan lagi.
BalasHapusSempet gafok...tapi keren setelah baca lagi π
BalasHapusWahhh, sukak sama ide ceritanya π
BalasHapus