Bapak pergi meninggalkan aku dua minggu setelah aku wisuda. Begitu banyak yang kusesali. Semasa hidupnya, aku nggak merawatnya dengan baik. Tidak menjadi anak yang berbakti. Aku tau bapak menyayangiku lebih-lebih. Bapak adalah orang yang nemenin aku nyelesain skripsiku sampai pagi. Bapak tau aku penakut, jadi beliau akan pura-pura nonton tv supaya aku ngga merasa sepi. Bapak adalah orang yang masakin aku telur dadar waktu aku mau berangkat yudisium. Bapak buatin aku teh juga. Pulang dari salon buat make up wisuda, pagi-pagi sekali, aku tinggal makan dan minum teh.
Aku rindu bapak yang pagi-pagi udah buat kopi. Duduk di depan rumah, di kursi birunya, sambil liatin kakinya yang semakin kurus karena diabetes. Rindu bapak yang setiap pagi ngehidupin becak mesinnya buat narik. Rindu bapak yang pulang narik langsung nonton tv dan tiduran di ruang tamu. Kini, tv kami itu, yang di rung tamu itu, nggak ada yang nonton. Mungkin tv pun ikut merindui bapak setiap harinya. Bapakku yang baik, yang jika aku menikah nanti, beliau bukan waliku. Betapa sedihnya ya.
Aku memang jarang ngobrol sama bapak, tapi beberapa waktu belakangan ini ketika masalah datang tak habis-habis menyentuh hidupku, aku akan selalu pergi menziarahi bapak. Bercerita banyak hal, menumpahkan tangisku yang terpendam, menghilangkan sesak di dadaku atas apa yang terjadi padaku di saat-saat tertentu. Aku tau bapak udah nggak bisa lagi dengar segala cerita dan tangisku setiap kali aku menziarahinya, tapi tetap aja aku ngelakuinnya.
Mungkin bapak kecewa kepada aku yang sekarang ini menjadi manusia yang mudah menyerah dan gampang putus asa. Mungkin bapak sedih mengetahui bahwa anaknya yang nakal ini sampai sekarang belum menjadi orang sukses seperti yang diharapkannya. Aku tau yang diinginkan bapak sekarang adalah doa dari anak-anaknya. Tapi aku malah sering menangis di makamnya setiap kali aku punya masalah.
Aku bukan menuhankan bapak karena setiap masalah aku mengadu ke makammnya. Tentu terlebih dahulu aku mengadu pada-Nya yang memberiku kehidupan dan segala hal yang kadang lupa kusyukuri. Aku hanya menghindar dari orang-orang rumah yang nantinya akan bertanya kenapa aku menangis. Makanya aku lebih sering ke makam bapak, lebih lega dan bisa mengeluarkan apa yang terpendam di diriku ini. Semoga bapak tenang, semoga bapak nggak semakin kecewa dengan anaknya yang menyedihkan ini. Al-Fatihah untuk bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar