body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Minggu, 03 November 2019

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian Akhir)

Ahmad, anak ketigaku bercerita tentang betapa ia ingin cepat-cepat ke rumah sakit untuk melihat bapak. Waktu itu memang yang menjaga suamiku di rumah sakit hanya aku dan kedua anakku, Idham dan Juli, anak keempatku. Saat Ahmad tiba di rumah sakit, ia menyarankan padaku dan Juli untuk makan malam dulu, ia dan Idham yang akan menjaga bapak. Turunlah kami berdua mencari makanan, sebab suamiku ditempatkan di lantai dua. 

Baru saja kami selesai makan, Ahmad menelepon untu menyuruh kami segera naik, karena keadaan suamiku sudah cukup parah. Saat di ruangan, kami berempat mengintip dari pintu kaca saat dokter malakukan kejut jantung pada suamiku. Aku tidak tega melihatnya, ia seperti merasakan kesakitan yang luar biasa. Ahmad langsung menelepon Nanda, dan Tari. Dan setelahnya, itu lah yang terjadi. Kepergian yang memilukan itu.

Juli bilang, hal yang paling ia kenangkan adalah saat mau ke rumah sakit, suamiku sempat bertanya apa Juli tidak masuk kerja hingga harus ikut mengantarnya ke rumah sakit? Kami juga mendengar pertanyaan dari suamiku itu. Sebelum Juli menawab, Idham ketawa dan bilang, "Pak, Pak, sudah dalam keadaan seperti ini bapak masih saja mengkhawatirkan anak-anak bapak. Yang penting bapak sehat, nggak usah pikirkan anak yang libur kerja. Kami semua nggak apa-apa, Pak." Suamiku hanya diam saja.

"Aku masih merasa menyesal waktu bapak minta tolong belikan obat aku pasang muka cemberut padahal waktu itu aku liat sendiri bapak udah nggak sanggup lagi jalan. Aku nyesal nggak nemenin bapak sampai ke ruangan waktu bapak diperiksa dokter. Juga aku menyesali apa yang dilakukan dokter itu. Nggak seharunya dokter itu bilang langsung ke bapak untuk mengamputasi kakinya. Itu kan jadi buat bapak semakin drop dan kayak udah nggak punya semangat hidup. Harusnya dokter sampaikan itu ke aku selaku keluarga pasien. Tapi ya memang kebodohanku karena aku nggak ikut nemanin bapak di ruangan itu," kisah anakku sambil tersedu-sedu.

Dua hari sebelum dirujuk ke rumah sakit, suamiku dibawa ke klinik oleh anakku dan yang terjadi adalah apa yang sudah diceritakan Nanda. Memang, sepualang dari klinik, suamiku terlihat begitu lesu. Makan siangnya tidak ia makan, hanya berbaring saja dan menatap kosong ke langit-langit rumah. Katanya ia susah menelan sementara perutnya sangat lapar.

Para tetangga datang menjenguk dan mereka bilang bahwa mereka sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada suamiku sekarang. Seseorang membuka cerita, "Ayo, Wak, sembuh! Semangat, Wak. Sunyi komplek ini, biasnya Uwak yang selalu bicara hal-hal lucu."
Suamiku cuma mengiyakan dan matanya tetap terpejam. 

Sekarang, kami tidak lagi bisa melihatnya. Ia sudah ada di alam lain. Tidak akan kami dengar suara becaknya lagi, atau bau kopi yang ia buat setiap pagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar