Sehari setelah pemakaman, para kerabat jauh maupun dekat mulai berpulangan. Tinggallah aku, anak-anakku dan cucu-cucuku. Kami bercerita-cerita, mengenang suamiku, kami tertawa untuk menghibur diri kemudian menangis lagi ketika menyadari bahwa kami telah kehilangan sosok inti di keluarga ini untuk selama-lamanya. Cucu-cucuku, walaupun mereka masih kecil, sungguh dari raut wajahnya terlihat sekali kehilangan akan sosok kakek yang selama ini ada di rumah ini setiap kali mereka datang bekunjung.
Tari, anak pertamaku memulai cerita, berbagi kenangan,
"Aku nyesal, Mak, waktu itu bapak minta dibeliin motor, bapak bilang nggak apa-apa kalaupun harus motor second yang penting bapak bisa pergi ke mesjid naik motor karena kaki bapak gampang sakit kalau jalan terlalu jauh."
Ya, memang jarak rumah kami ke mesjid cukup jauh, bisa saja ditempuh dengan jalan kaki, tapi untuk seorang tua seperti suamiku, tidak akan dia sanggup. Anakku tidak membelikannya motor karena beberapa alasan. Sebenarnya suamiku tidak memaksakan, ia juga minta motor itu dibayar pakai uangnya sendiri. Anakku hanya diminta untuk mencarikan.
"Ingat juga aku waktu itu bapak kirim SMS kalau uangnya hilang. Nggak beberapa lama bapak SMS lagi kalau uangnya udah ketemu," kenang Tari. Tari memang yang paling perhatian pada bapaknya. Makanya jika ada apa-apa suamiku lebih sering menghubungi Tari dari pada anak-anak lainnya. Bukn erarti anak-anakku yang lain tidak memperhatikan, hanya saja perhatian yang diberikan Tari lebih dari mereka, adik-adiknya. Apapun yang diperlukan suamiku, Tari selalu berusaha untuk memenuhinya. Membelikan apa yang disuka suamiku, mengantar obat-obatan walau harus menempuh dua jam dari tempat tinggalnya.
Berkisah juga anakku yang kedua, Idham, tentang suamiku yang selalu berdzkir sebelum kepergiannya.
"Kita semua tahu semasa hidup, bapak jarang beribadah, tapi menjelang kepergiannya beberapa bulan belakangan ini, bapak begitu tekun beribadah. Sampai akhir hayatnya ia tidak pernah berhenti bedzikir."
Kami semua memandang lantai yang kosong dengan pikiran kami masing-masing. Aku masih ingat saat sebelum membawa suamiku ke rumah sakit, Idham lah yang mengganti pakaiannya saat ia terbaring lemah dan tidak kuasa mengangkat lehernya yang ia bilang mulai kaku dan sulit digerakkan.
"Dulu waktu kecil bapak yang pakaikan aku baju, mengganti celanaku, sekarang aku yang ngelakuin semuanya sama seperti yang bapak lakuin ke aku. Cepat sembuh ya, Pak," kata Idham waktu itu. Suamiku hanya bergumam dan matanya tetap terpejam, Idham melingkarkan tangan suamiku ke lehernya dan aku mengangkat kepala suamiku pelan-pelan untuk membantu Idham mengganti pakain suamiku sebelum ke rumah sakit. Anak-anakku dan cucu-cucuku yang melihat momen ini tidak mampu menahan tangis mereka.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar