body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Minggu, 03 November 2019

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian 3)

"Sudah, jangan nangis, Nan," bujuk Idham, anak keduaku.
"Tapi cuma aku anak bapak yang nggak lihat bapak ke rumah sakit."
"Nggak apa-apa. Bapak nggak marah. Tau? Bapak dulu bilang gini ke abang, 'Bapak kan sakit, bapak cuma pengen nunggu Nanda wisuda aja. Kalau setelahnya bapak dipanggil Allah, ya bapak ikhlas.'" 
Nanda hanya diam saja dan tatapannya kosong. Terus saja ia menangis. Mengenang-ngenangkan sesuatu barangkali. Pada saat jenaah suamiku akan dimandikan, dia juga ingin ikut memandikan. Hanya saja keluarga kami mencegahnya, "Biarlah anak-anak laki-lakinya saja yang ikut memandikan jenazah bapaknya".

Setelah dimandikan dan dikafankan, kami menziarahinya. Aku, anak-anakku dan cucu-cucu kami diarahkan untuk mendoakan suamiku. Kemudian satu per satu dari kami menciuminya. Jenazah suamiku pun kemudian di-sholatkan. Saat akan dimakamkan, aku katakan pada anak-anakku bahwa aku tidak akan ikut mengantar jenazah suamiku ke peristirahatan terakhirnya. Aku tidak akan sanggup, aku takut jika di sana nanti aku akan berteriak histeris dan meratap. Anak-anak dan kerabat setuju akan hal itu. Jadi, aku hanya mengantarkan jenazah suamiku sampai depan rumah.

Aku begitu sakit melihat orang-orang membawa keranda yang berisikan jenazah suamiku di dalamnya. Kini suamiku telah pergi. Pergi dan tak akan pulang lagi ke rumah ini. Dia pergi meninggalkan aku, anak-anaknya, cucu-cucunya dan juga becaknya. Ya, suamiku itu hanya seorang supir becak. Tapi aku sedikitpun tidak pernah merasa malu begitu juga anak-anakku. Dia juga meninggalkan radio yang dia beli beberapa bulan lalu, juga jam tangannya yang ia berikan pada Nanda, anak bungsuku.

Setelah prosesi pemakaman, orang-orang sudah  banyak yang pulang. Kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Beberapa kerabat memberi nasehat padaku dan anak-anakku agar selalu mendoakan suamiku. Kemudian kami mengenang-ngenang lagi masa hidup suamiku. Idham bercerita bahwa saat di rumah sakit, ia sempat merekam bapak yang terbaring lemah. Jarinya memberi tanda bahwa ia sedang berdzikir. Betapa kami sedih melihat rekaman itu

Suamiku hanya sehari saja masuk rumah sakit. Kami membawanya ke rumah sakit jam 11 pagi dan ia berpulang jam 22.30 malam. Di rumah sakit, ia meminta maaf pada setiap orang yang mengunjunginya. Ia terlihat begitu lemah. Suamiku terus saja berkata dengan lemah bahwa ia lapar. Tapi, pihak rumah sakit waktu itu mmang belum membolehkan suamiku makan, sekalipun itu makanan rumah sakit karena ada sesuatu yang harus dibersihkan dalam tubuh suamiku.


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar