body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Minggu, 03 November 2019

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian 2)

Setelah tangisan-tangisan itu berhenti, suasana menjadi hening. Seorang-seorang mereka para tetangga datang menyalami kami untuk pamit pulang. Karena suamiku waktu it meninggal pukul 11 malam. Hanya beberapa tetangga yang ada di dalam rumahku dan saat aku lihat ke luar rumah, masih ada beberapa tetangga lainnya yang bercakap-akap. Tidak lama setelah itu, kerabat pun mulai berdatangan baik dari pihakku maupun pihak suamiku. Aku betul-betul tidak bisa menahan tangisku waktu itu. Bahkan aku sampai bilang kalau mereka begitu tega tidak menjenguk suamiku di rumah sakit.
"Mungkin waktu di rumah sakit, kalian lah yang ditunggunya. Kakaknya dan adik-adiknya. Tapi kenapa kalian nggak datang?" isakku sambil mengelus-elus kepala suamiku yang yang tubuhnya sudah terbujur kaku.

Waktu itu aku tidak bisa berpikir dengan waras alasan kenapa saudara-saudara suamiku tidak menjenguk ke rumah sakit. Aku hanya berpikir bahwa harusnya mereka datang agar suamiku senang. Tapi barangkali itu hanya pendapatku saja, mungkin suamiku pun tidak terlalu memikirkannya waktu itu. Orang-orang mencoba menenangkanku agar aku berhenti menangis dan meratap.

Aku termenung, memikirkan banyak kenangan semasa hidup suamiku dan sebelum kepergiannya. Karena mata mulai lelah menangis, aku pun tertidur di dekat jenazah suamiku. Anak bungsuku tidur di sampingnya, memeluknya begitu erat seakan-akan bapaknya masih hidup dan sedang tertidur. Matanya terpejam, tapi air matanya terus saja mengalir. Kesedihan begitu tampak di wajahnya, sebabg baru dua minggu lalu ia wisuda, menyelesaikan kuliahnya, dan baru merayakan ulang tahunnya, kini ia harus berhadapan dengan perpisahan yang menyakitkan.

Tidak terasa sudah pagi, orang-orang pada sibuk mengurusi jenazah suamiku. Sebelum dimandikan dan dikuburkan, tetangga-tetangga kami datang untuk membacakan surah Yasin, doa ataupun hanya sekedar mengucapkan rasa belasungkawa. Setiap kali orang menyalamiku, aku tidak mampu membendung air mataku. Rasanya sesak sekali. Anakku-pun satu per satu menyalamiku dan memelukku, mengatakan padaku untuk terus bersabar dengan apa yang telah terjadi hari ini.

Kudengar sayup-sayup orang bercerita tentang suamiku yang beberapa hari belakangan ini tidak keluar rumah karena ia hanya mampu berbaring sebab sakit dan mereka rindu akan sosok suamiku. Aku pun tentu saja merindukannya. Mereka bertanya tentang apa sebenarnya penyakit suamiku dan anakku yang menjelaskan dengan tenang. Anak bungsuku terus saja menangis di depan jenazah bapaknya. Ia tidak berkata apa-apa selain menangis. Terus saja air matanya mengalir dengan begitu derasnya. Melihat itu, anak keduaku menghampirinya.


(bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar