body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Jumat, 01 November 2019

Seminggu Sebelum Kepergian

Aku merasa sudah tidak  bisa mengeluarkan air mata lagi. Aku masih tidak menyangka bahwa tubuh yang ditangisi oleh kedua anakku, menantu dan kedua cucuku adalah jenazah suamiku. Aku merasai kehilangan yang sangat besar. Begitu juga anak-anakku dan cucu-cucuku. Jalanan begitu lenggang, seolah memberikan kami kemudahan untuk bisa sampai ke rumah segera. Sirine ambulans seperti sengaja berteriak di telingaku dan menyakitkan otakku.

"Buk, opung kiki udah meninggal," begitu kudengar menantuku menelepon tetangga kami. Kemudian dan seterusnya sampai rumah yang terdengar hanya isakan tangis. Kedua anak laki-lakiku membawa motor untuk mengawal ambulans. Aku hanya bisa menatap nanar. Sungguh tatapan yang benar-benar kosong. Sesampainya kami di gang rumah, telah banyak orang-orang berdiri melihat ke arah ambulans. Mereka seperti menyambut datangnya sosok yang sangat dirindukan.

Ambulans berhenti di depan rumahku. Seketika aku menerit histeris saat turun dari mobil itu. Pintu belakang ambulans dibuka. Kedua anakku, menantu dan cucuku keluar dari pintu kiri ambulans. Lalu jenazah suamiku digotong oleh kedua anak laki-lakiku dan beberapa tetangga. Rasanya aku ingin mati saja saat itu. Ada banyak hal yang kusesali saat dia hidup. Aku ingin memperbaiki semuanya bersama suamiku tercinta, tapi apa dayaku, dia telah tinggalkan kami semua. 

"Belum puas aku mengurusmu waktu sakit," teriakku waktu itu. Tentu saja membuat tetanggaku langsung memelukku dan menasehatiku untuk tidak meratap. Begitu juga anak laki-lakiku yang menuntunku masuk ke dalam rumah.
"Jangan gitu, Mak. Nggak boleh mamak teriak-teriak, nanti mamak sakit."
Tapi aku terus juga menangis seolah tidak memperdulikan orang-orang di sekitarku. Aku merasa menjadi orang paling sedih di dunia.

Duduklah aku di samping jenazah suamiku. Aku melihat aura wajahnya yang begitu berbeda dengan ketika ia tidur. Pasti lah seperti itu, karena ia memang tidak sedang tidur. Kulihat anak bungsuku juga begitu terpukul atas kejadian ini. Apalagi tadinya dia menelepon dan bilang mau menyusul ke rumah sakit sepulang kerja, tapi aku cegah karena waktu itu kulihat keadaan suamiku tidak begitu parah. Anakku bisa datang besok harinya, begitu pikirku. Kudengar dia berkata sambil menangis, "Cuma aku anak bapak yang belum lihat bapak di rumah sakit. Maafin aku, Pak."


bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar