Toko buku yang selalu kudatangi tidak sama seperti pertama kali aku ke sini. Dingin. Tidak ada canda tawa di rak buku-buku fiksi. Tidak ada seseorang yang tiba-tiba mengejek dari balik buku-buku. Hanya aku saja di sini.
"Emangnya kamu nggak tahu kalau Endro akan menikah?"
"Dia nggak bilang."
"Harusnya kamu tanya."
"Kamu cemburu ya?"
"Enggak."
"Kenapa sih setiap ke toko buku ini, kamu selalu membahas tentang Endro?"
Aku sungguh menyayangi sahabatku ini. Dia selalu mengerti bagaimana keadaanku, tapi aku akan sangat kesal bila dia terus menerus mengungkit masa laluku dengan Endro. Aku bertemu Endro di toko buku ini, kami berteman, berbagi cerita, dimana ada aku, di situ ada Endro. Dia memang tidak pernah mengatakan apapun kepadaku tentang perasaannya. Namun, sebagai wanita, tentu saja aku tahu maksud dari perhatian seorang lelaki yang bukan hanya sekali, melainkan sering, setiap hari, setiap kali.
"Mey, bukannya aku mau ungkit masa lalu kamu, tapi aku mau memastikan kalau kamu benar-benar bisa lupain Endro dan bangkit lagi, jadi dirimu seperti dulu, Mey."
Ya, aku tahu maksud sahabatku itu sangat baik, tapi itu justru mengingatkanku pada masa-masa sulit itu. Berbulan-bulan aku terus memikirkan bagaimana bisa dia menikah begitu saja tanpa memberi kabar? Bahkan tentang kabar pernikahannya saja pun aku tahu dari temannya.
Bila Endro tidak memiliki perasaan apapun terhadapku, maka sebaliknya aku punya perasaan sayang terhadap dirinya. Walau hanya beberapa bulan, dia benar-benar telah membersamaiku. Aku sangat merindukannya. Mungkin waktu itu dia berbohong kalau dia tidak sedang mencintai siapa pun. Mungkin juga waktu itu dia mencintai gadis lain, hanya saja dia menyembunyikannya dariku. Tapi, sampai kapan dia terus bersembunyi? Apa dia tidak ingin lagi berbagi cerita padaku? Apa dia benar--benar melupakanku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar