body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Jumat, 11 Oktober 2019

C E R P E N

Aku suka nulis, tapi isinya suka absurd. Malah lebih sering nulis sesuatu yang nggak bermanfaat bahkan buat diri sendiri. Wkwkwk. Untuk cerita pendek sendiri, yang kata orang lebih mudah dibuat, bagiku malah terasa sulit. Sulit banget. Aku sempat bongkar-bongkar file dan ketemu sama salah satu cerpen yang pernah kuikuti di sebuah event yang diadain di grup kepenulisan di Facebook. Jadi, ini dia. :D Ini cerpenku yang kutulis tahun 2015.
Terima Kasih, Kak!
Aku masih saja memandangi benda yang menurutku aneh dan tak berharga ini dengan penuh keheranan.
“Maksud Kak  Muchtar apa sih? Apa  Dia pura-pura tidak tahu kalau aku benci buku?” gerutuku dalam hati.
Ya, hari ini tepatnya pada tanggal 17 Maret adalah ulang tahun-ku yang ke-17. Ini kali pertama  kamarku dipenuhi dengan berbagai macam kado dari sanak saudara maupun teman-teman disekolah. Hari jadi ini tidak kurayakan, hanya saja teman-teman mengatakan ini sebuah kejutan.  Ahh, aku hampir lupa, Ibu dan Ayah juga memberiku kado. Ibu memberiku tas ransel yang selama ini aku minta padanya dengan nada memelas. Ayah memberiku sepatu yang warna dan coraknya sangat mirip dengan sepatu milik sepupuku,hanya beda ukuran.

Benda ini, lagi-lagi ia menarik perhatianku. Aku memang tidak menyukainya, hanya saja aku terkejut saat tahu bahwa benda ini adalah kado ulang tahun dari Kak Muchtar untukku. Kak Muchtar adalah kakakku, sekarang ini Ia sedang melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah.Dan satu lagi, Ia sangat suka menulis dan membaca. Jauh berbeda denganku yang hanya suka bermain game dan kumpul bersama teman-teman sekolah. Aku ingin Kak Muchtar memberiku kado yang menurutku lebih bermanfaat, seperti handphone baru, laptopku yang lama diganti dengan yang baru atau pun hal lainnya yang berkaitan dengan elektronik. Tapi pada kenyataannya Kak Muchtar tidak memberi apa yang kuharapkan.

Aku langsung menemui Kak Muchtar yang sedang asik membaca buku diruang tamu.
 “Kak,kenapa sih kakak harus kasih kado ini ke Nazwa?” tanyaku sambil menunjukkan buku pemberiannya.
 “Nazwa kan mau jadi penulis, selain menulis seorang penulis itu harus banyak membaca. Dan minggu ini harus selesai baca bukunya, ya?”
Aku tak langsung menjawab, aku masih sibuk berpikir tentang kapan dan dimana aku mengatakan kepada Kak Muchtar kalau aku ingin jadi penulis.
 “Kamu jangan pura-pura lupa ya, kamu sendiri yang bilang sama Kakak kalau kamu ingin jadi penulis. Kalau tidak salah kamu bilang seperti itu dua minggu yang lalu” jelas Kak Muchtar yang seakan-akan tau pikiran yang melayang-layang di otakku.
“Oh iya Nazwa ingat, tapi kan Kakak tahu kalau Nazwa tidak suka baca buku,” protesku.
“Maka dari itu mulai sekarang harus rajin baca buku!” sarannya.
“Tapi kenapa harus selesai dibaca minggu ini kak?” tanyaku tanpa memperdulikan sarannya.
“Iya karena Kakak mau memberimu hadiah lagi kalau kamu sudah menyelesaikan bacaanmu”
“Seperti sesuatu yang dipaksakan saja!” jelasku sekenanya.
“Bukankah orang bijak bilang, paksalah dirimu sampai kau lupa jika kau sedang dipaksa? Nah, begitu juga dalam hal membaca, sekarang ini mungkin kamu malas tapi Kakak percaya suatu saat kalau hanya dengan membaca satu buku dalam satu minggu membuatmu merasa tidak puas.”

Aku mengerti maksud Kak Muchtar, tapi sungguh membaca adalah hal yang paling membosankan bagiku. Namun, agar jawabanku tidak membuatnya merasa kecewa maka aku katakan saja kalau aku akan melakukan sarannya.
“Ya sudah, nanti Nazwa akan menyelesaikan bacaan dari buku yang Kakak berikan ini. Terimakasih ya, Kak”
“Nah begitu dong.”
Aku berlalu meninggalkan Kak Muchtar dan masuk ke kamarku.
“Jika yang dikatakan Kak Muchtar benar bahwa seorang penulis juga harus banyak membaca, aku akan melakukannya” gumamku dalam hati.
Aku memang ingin menjadi seorang penulis, mungkin karena sebulan yang lalu Ine, teman sekolahku, meminjamkanku novel yang Ia bilang sangat bagus isinya. Benar saja,dari gaya bahasa dan penulisannya serta arah cerita yang mudah dipahami membuatku ingin menjadi penulis seperti pengarang novel fiksi itu.

Maka langsung saja aku ambil buku pemberian Kak Muchtar yang telah aku letakkan bersamaan dengan buku-buku pelajaranku di sekolah. Judulnya memang menarik, “Metode Mudah Menulis Puisi Bagi Pemula”. Bagiku ini adalah jenis buku berat yang sulit dipahami segala penjelasannya.
“Kalau ada yang tidak mengerti tanyakan saja pada kakak, ya?” tegur Kak Muchtar yang ternyata berdiri di depan pintu kamarku sejak tadi.
“Kak, langsung praktiknya saja gimana?” tanyaku tanpa mengatakan terimakasih atas bantuan yang Ia tawarkan padaku tadi.
“Harus dibaca dulu dong” jawabnya dengan senyuman.
“Sambil dipraktikkan saja kak agar tidak lupa teorinya”
Sebenarnya aku memberikan alasan agar tidak membaca buku ini terlalu serius.
“Baiklah, kita mulai dari bab pertama, ya?”

Awalnya aku sangat bingung dengan isi buku ini, namun akhirnya aku mulai tertarik. Ka Muchtar selalu bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanku perihal buku ini. Entahlah, apa ini terlalu cepat? Tapi sepertinya aku memang mulai menyukai buku. Aku juga suka meminta Ka Muchtar untuk membelikanku buku. Buku yang berkaitan dengan puisi tentunya. Pernah, Kak Muchtar menyarankan agar aku tidak fokus pada satu buku saja, Ia menyuruhku membaca buku-buku lain selain yang berkaitan dengan puisi. Aku menerima sarannya, namun ku akui di lemari belajarku kini telah banyak buku pemberian dari Kak Muchtar terutama buku yang berkaitan dengan puisi.

Sejak saat itu aku suka menulis puisi. Kak Muchtar selalu memotivasiku, mengoreksi hasil karyaku, memberiku saran-saran hebat darinya. Menurutku kado yang diberikan Kak Muchtar merupakan kado terindah karena sangat membawa manfaat bagiku. Sebulan setelah hari ulang tahun-ku, Kak Muchtar memberitahuku bahwa ada suatu situs yang menyelenggarakan perlombaan menulis. Dalam perlombaan itu terdapat beberapa bagian seperti; lomba menulis cerpeN, puisi, karya ilmiah, dan artikel. Tentu saja aku mengambil lomba menulis puisi. Karena batas akhir pengiriman naskah bisa dikatakan cukup lama, maka aku masih bisa bergonta-ganti judul yang menurutku paling menarik dan tentu saja masih berkaitan dengan tema yang ditentukan.
“Kalau menurut kakak judul ini lebih bagus untuk kamu kirim.”
Lagi-lagi Kak Muchtar memberiku saran atas puisiku yang menurutnya –sebenarnya menurutku juga- bagus. Setelah semua persyaratan dalam lomba menulis puisi ini selesai, aku langsung mengirimkan naskahnya ke alamat e-mail yang sudah diinformasikan oleh penyelenggara.

Hanya butuh waktu seminggu untuk melihat hasil karya-ku. Aku tidak peduli apakah karya-ku bisa menang atau tidak. Ternyata karyaku mendapat urutan terbaik pertama meskipun tidak menjadi pemenang pertama. Aku senang bukan kepalang, Kak Muchtar juga turut bahagia dalam hal ini. Dia memberiku kado terindah lagi, buku. Kali ini buku itu agak berbeda dan menurutku akan menjadi temanku yang kedua setelah puisi, yaitu cerpen. Buku yang berjudul “Tips dan Trik Menulis Cerpen Dengan Mudah” sungguh membuatku kegirangan. Aku berlari memeluk Ibu dan Ayah, mengatakan bahwa Aku ingin menjadi penulis hebat, dan mereka setuju dengan hal itu. Kak Muchtar menghampiriku, ahh kenapa bukan aku yang menghampirinya dan mengucapkan terimakasih atas kepeduliannya kepadaku selama ini? Maafkan aku, Kak.
      “Selamat ya, Dik, walaupun hanya event kecil Kakak tahu kau sangat senang. Terus berkarya, ya, Kakak orang pertama yang selalu mendukungmu dalam hal kepenulisan” jelasnya panjang lebar sambil memelukku.
Aku sendiri tidak bisa berkata apa-apa, aku malu karena pernah kecewa atas kado pemberian darinya, tapi Ia bilang,tidak apa-apa. Kini setelah aku cukup mengerti dalam menulis puisi, aku akan belajar cara menulis cerpen. Saat ini aku bersahabatkan buku, buku pemberian dari Kak Muchtar, Ibu, Ayah, dan buku yang kubeli sendiri. Terima kasih atas kado terindah ini, Kak Muchtar.


Nah, it, Gaes. Gaje, kan? Hahaha.

2 komentar:

  1. Nice bgt ka cerpen nya😊😀

    BalasHapus
  2. Ini kisah penulis, kah? Rasa-rasanya kisah pribadi ini.. ehee

    BalasHapus