body { margin:0; font-family:Droid Serif; background:#fafafa; line-height:1.5; cursor:default; } section { box-shadow:0 2px 5px rgba(0,0,0,0.2); background:#fff; width:60%; margin:100px auto; padding:50px; } blockquote { text-align:center; font-size:20px; border-top:1px solid #ccc; border-bottom:1px solid #ccc; position:relative; quotes: "\201C""\201D""\2018""\2019"; } blockquote:after { color:#ccc; font-family:Source Sans Pro; content: open-quote; font-size:80px; position:absolute; left:50%; bottom:calc(100% - 20px); background:#fff; height:55px; width: 55px; line-height:normal; text-align:center; transform:translateX(-50%); } blockquote p { padding:20px; }

Minggu, 03 November 2019

A R H A N A

Arhana merupakan nama pena dari seorang wanita cantik dari salah satu grup One Day One Post. Nama aslinya adalah Handiana Muthoharoh. Sebelumnya aku nggak pernah berkomunikasi dengan Mbak Nana (nama panggilannya). Aku dikenalkan oleh seorang teman yang dulu bergabung bersamaku di ODOP Batch 6. 

Sebelum aku tanyain banyak hal ke Mbak Nana soal dirinya, aku udah yakin bahwa Mbak Nana ini adalah sosok yang luar biasa. Benar saja, saat aku minta beberapa informasi tentang dirinya, beliau mengirim CV lengkap berupa gambar. Background gambar itu berwarna ungu, warna kesukaannya. Selain ungu, Mbak Nana juga suka hujan. "Seseorang mengenalkan hujan dari sisi lain," begitu katanya. 

Mbak Nana aktif banget di beberapa kegiatan atau komunitas yang sangat inspiratif. Beliau menuliskannya dengan lengkap. Terlihat sekali bahwa Mbak Nana mampu memanajemen waktu dengan baik atas aktivitas yang sebanyak itu. Beberapa di antaranya adalah Leader Ibu Profesional Kediri Raya, editor di TMH Publishing, juga merangkap sebagai bendahara sekolah.

Mbak Nana bukan hanya sekedar menulis di blog atau akun sosial medinya. Beliau telah melahirkan lebih dari satu karya dengan judul-judul yang sangat menarik. Bagiku ini keren, banyak aktivitas, banyak karya pula. Patut dicontoh. Beliau merupakan kontributor antologi pada buku;
-  Dari Nihil Menjadi  Berhasil
-  Dilatasi Hati
-  Rahasia Seorang Guru
-  Lamat- Lamat Taat, dll

Ada juga karya beliau yang akan segera terbit, seperti;
- Saat Luka Jadi Cahaya
- Meredam Lebam
- Kala Langit Berair Mata

InsyaAllah beliau juga akan menerbitkan buku solonya. Ngomong-ngomong Mbak Nana ini sudah pernah ke Malang dan Salatiga. Mbak Nana kuliahnya di Malang, sedangkan di Salatiga, Mbak Nana menghdiri acara komunitas dalam event Leader Camp. Mbak Nana bilang kalau ia pengen banget ke Bandung, baginya Bandung merupakan kota impian. Kalau aku sih, dari dulu pengen ke Yogyakarta. Hihihi. Semoga impian kita tetwujud ya, Mbak Nana.

Oh ya, Mbak Nana ini ternyata suka nulis dari sejak kecil. Sekitar kelas 4 SD katanya. Pantesan ya udah punya karya dan tulisannya bagus-bagus.

Yuk, yang mau baca tulisan-tulisan  Mbak Nana, main ke blog-nya; http://Kataarhana.blogspot.com 

😉😉😉

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian Akhir)

Ahmad, anak ketigaku bercerita tentang betapa ia ingin cepat-cepat ke rumah sakit untuk melihat bapak. Waktu itu memang yang menjaga suamiku di rumah sakit hanya aku dan kedua anakku, Idham dan Juli, anak keempatku. Saat Ahmad tiba di rumah sakit, ia menyarankan padaku dan Juli untuk makan malam dulu, ia dan Idham yang akan menjaga bapak. Turunlah kami berdua mencari makanan, sebab suamiku ditempatkan di lantai dua. 

Baru saja kami selesai makan, Ahmad menelepon untu menyuruh kami segera naik, karena keadaan suamiku sudah cukup parah. Saat di ruangan, kami berempat mengintip dari pintu kaca saat dokter malakukan kejut jantung pada suamiku. Aku tidak tega melihatnya, ia seperti merasakan kesakitan yang luar biasa. Ahmad langsung menelepon Nanda, dan Tari. Dan setelahnya, itu lah yang terjadi. Kepergian yang memilukan itu.

Juli bilang, hal yang paling ia kenangkan adalah saat mau ke rumah sakit, suamiku sempat bertanya apa Juli tidak masuk kerja hingga harus ikut mengantarnya ke rumah sakit? Kami juga mendengar pertanyaan dari suamiku itu. Sebelum Juli menawab, Idham ketawa dan bilang, "Pak, Pak, sudah dalam keadaan seperti ini bapak masih saja mengkhawatirkan anak-anak bapak. Yang penting bapak sehat, nggak usah pikirkan anak yang libur kerja. Kami semua nggak apa-apa, Pak." Suamiku hanya diam saja.

"Aku masih merasa menyesal waktu bapak minta tolong belikan obat aku pasang muka cemberut padahal waktu itu aku liat sendiri bapak udah nggak sanggup lagi jalan. Aku nyesal nggak nemenin bapak sampai ke ruangan waktu bapak diperiksa dokter. Juga aku menyesali apa yang dilakukan dokter itu. Nggak seharunya dokter itu bilang langsung ke bapak untuk mengamputasi kakinya. Itu kan jadi buat bapak semakin drop dan kayak udah nggak punya semangat hidup. Harusnya dokter sampaikan itu ke aku selaku keluarga pasien. Tapi ya memang kebodohanku karena aku nggak ikut nemanin bapak di ruangan itu," kisah anakku sambil tersedu-sedu.

Dua hari sebelum dirujuk ke rumah sakit, suamiku dibawa ke klinik oleh anakku dan yang terjadi adalah apa yang sudah diceritakan Nanda. Memang, sepualang dari klinik, suamiku terlihat begitu lesu. Makan siangnya tidak ia makan, hanya berbaring saja dan menatap kosong ke langit-langit rumah. Katanya ia susah menelan sementara perutnya sangat lapar.

Para tetangga datang menjenguk dan mereka bilang bahwa mereka sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada suamiku sekarang. Seseorang membuka cerita, "Ayo, Wak, sembuh! Semangat, Wak. Sunyi komplek ini, biasnya Uwak yang selalu bicara hal-hal lucu."
Suamiku cuma mengiyakan dan matanya tetap terpejam. 

Sekarang, kami tidak lagi bisa melihatnya. Ia sudah ada di alam lain. Tidak akan kami dengar suara becaknya lagi, atau bau kopi yang ia buat setiap pagi. 

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian 4)

Sehari setelah pemakaman, para kerabat jauh maupun dekat mulai berpulangan. Tinggallah aku, anak-anakku dan cucu-cucuku. Kami bercerita-cerita, mengenang suamiku, kami tertawa untuk menghibur diri kemudian menangis lagi ketika menyadari bahwa kami telah kehilangan sosok inti di keluarga ini untuk selama-lamanya. Cucu-cucuku, walaupun mereka masih kecil, sungguh dari raut wajahnya terlihat sekali kehilangan akan sosok kakek yang selama ini ada di rumah ini setiap kali mereka datang bekunjung.

Tari, anak pertamaku memulai cerita, berbagi kenangan,
"Aku nyesal, Mak, waktu itu bapak minta dibeliin motor, bapak bilang  nggak apa-apa kalaupun harus motor second yang penting bapak bisa pergi ke mesjid naik motor karena kaki bapak gampang sakit kalau jalan terlalu jauh."
Ya, memang jarak rumah kami ke mesjid cukup jauh, bisa saja ditempuh dengan jalan kaki, tapi untuk seorang tua seperti suamiku, tidak akan dia sanggup. Anakku tidak membelikannya motor karena beberapa alasan. Sebenarnya suamiku tidak memaksakan, ia juga minta motor itu dibayar pakai uangnya sendiri. Anakku hanya diminta untuk mencarikan.

"Ingat juga aku waktu itu bapak kirim SMS kalau uangnya hilang. Nggak beberapa lama bapak SMS lagi kalau uangnya udah ketemu," kenang Tari. Tari memang yang paling perhatian pada bapaknya. Makanya jika ada apa-apa suamiku lebih sering menghubungi Tari dari pada anak-anak lainnya. Bukn erarti anak-anakku yang lain tidak memperhatikan, hanya saja perhatian yang diberikan Tari lebih dari mereka, adik-adiknya. Apapun yang diperlukan suamiku, Tari selalu berusaha untuk memenuhinya. Membelikan apa yang disuka suamiku, mengantar obat-obatan walau harus menempuh dua jam dari tempat tinggalnya. 

Berkisah juga anakku yang kedua, Idham, tentang suamiku yang selalu berdzkir sebelum kepergiannya. 
"Kita semua tahu semasa hidup, bapak jarang beribadah, tapi menjelang kepergiannya beberapa bulan belakangan ini, bapak begitu tekun beribadah. Sampai akhir hayatnya ia tidak pernah berhenti bedzikir."
Kami semua memandang lantai yang kosong dengan pikiran kami masing-masing. Aku masih ingat saat sebelum membawa suamiku ke rumah sakit, Idham lah yang mengganti pakaiannya saat ia terbaring lemah dan tidak kuasa mengangkat lehernya yang ia bilang mulai kaku dan sulit digerakkan. 


"Dulu waktu kecil bapak yang pakaikan aku baju, mengganti celanaku, sekarang aku yang ngelakuin semuanya sama seperti yang bapak lakuin ke aku. Cepat sembuh ya, Pak," kata Idham waktu itu. Suamiku hanya bergumam dan matanya tetap terpejam, Idham melingkarkan tangan suamiku ke lehernya dan aku mengangkat kepala suamiku pelan-pelan untuk membantu Idham mengganti pakain suamiku sebelum ke rumah sakit. Anak-anakku dan cucu-cucuku yang melihat momen ini tidak mampu menahan tangis mereka.


(bersambung)

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian 3)

"Sudah, jangan nangis, Nan," bujuk Idham, anak keduaku.
"Tapi cuma aku anak bapak yang nggak lihat bapak ke rumah sakit."
"Nggak apa-apa. Bapak nggak marah. Tau? Bapak dulu bilang gini ke abang, 'Bapak kan sakit, bapak cuma pengen nunggu Nanda wisuda aja. Kalau setelahnya bapak dipanggil Allah, ya bapak ikhlas.'" 
Nanda hanya diam saja dan tatapannya kosong. Terus saja ia menangis. Mengenang-ngenangkan sesuatu barangkali. Pada saat jenaah suamiku akan dimandikan, dia juga ingin ikut memandikan. Hanya saja keluarga kami mencegahnya, "Biarlah anak-anak laki-lakinya saja yang ikut memandikan jenazah bapaknya".

Setelah dimandikan dan dikafankan, kami menziarahinya. Aku, anak-anakku dan cucu-cucu kami diarahkan untuk mendoakan suamiku. Kemudian satu per satu dari kami menciuminya. Jenazah suamiku pun kemudian di-sholatkan. Saat akan dimakamkan, aku katakan pada anak-anakku bahwa aku tidak akan ikut mengantar jenazah suamiku ke peristirahatan terakhirnya. Aku tidak akan sanggup, aku takut jika di sana nanti aku akan berteriak histeris dan meratap. Anak-anak dan kerabat setuju akan hal itu. Jadi, aku hanya mengantarkan jenazah suamiku sampai depan rumah.

Aku begitu sakit melihat orang-orang membawa keranda yang berisikan jenazah suamiku di dalamnya. Kini suamiku telah pergi. Pergi dan tak akan pulang lagi ke rumah ini. Dia pergi meninggalkan aku, anak-anaknya, cucu-cucunya dan juga becaknya. Ya, suamiku itu hanya seorang supir becak. Tapi aku sedikitpun tidak pernah merasa malu begitu juga anak-anakku. Dia juga meninggalkan radio yang dia beli beberapa bulan lalu, juga jam tangannya yang ia berikan pada Nanda, anak bungsuku.

Setelah prosesi pemakaman, orang-orang sudah  banyak yang pulang. Kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Beberapa kerabat memberi nasehat padaku dan anak-anakku agar selalu mendoakan suamiku. Kemudian kami mengenang-ngenang lagi masa hidup suamiku. Idham bercerita bahwa saat di rumah sakit, ia sempat merekam bapak yang terbaring lemah. Jarinya memberi tanda bahwa ia sedang berdzikir. Betapa kami sedih melihat rekaman itu

Suamiku hanya sehari saja masuk rumah sakit. Kami membawanya ke rumah sakit jam 11 pagi dan ia berpulang jam 22.30 malam. Di rumah sakit, ia meminta maaf pada setiap orang yang mengunjunginya. Ia terlihat begitu lemah. Suamiku terus saja berkata dengan lemah bahwa ia lapar. Tapi, pihak rumah sakit waktu itu mmang belum membolehkan suamiku makan, sekalipun itu makanan rumah sakit karena ada sesuatu yang harus dibersihkan dalam tubuh suamiku.


(bersambung)

Seminggu Sebelum Kepergian (Bagian 2)

Setelah tangisan-tangisan itu berhenti, suasana menjadi hening. Seorang-seorang mereka para tetangga datang menyalami kami untuk pamit pulang. Karena suamiku waktu it meninggal pukul 11 malam. Hanya beberapa tetangga yang ada di dalam rumahku dan saat aku lihat ke luar rumah, masih ada beberapa tetangga lainnya yang bercakap-akap. Tidak lama setelah itu, kerabat pun mulai berdatangan baik dari pihakku maupun pihak suamiku. Aku betul-betul tidak bisa menahan tangisku waktu itu. Bahkan aku sampai bilang kalau mereka begitu tega tidak menjenguk suamiku di rumah sakit.
"Mungkin waktu di rumah sakit, kalian lah yang ditunggunya. Kakaknya dan adik-adiknya. Tapi kenapa kalian nggak datang?" isakku sambil mengelus-elus kepala suamiku yang yang tubuhnya sudah terbujur kaku.

Waktu itu aku tidak bisa berpikir dengan waras alasan kenapa saudara-saudara suamiku tidak menjenguk ke rumah sakit. Aku hanya berpikir bahwa harusnya mereka datang agar suamiku senang. Tapi barangkali itu hanya pendapatku saja, mungkin suamiku pun tidak terlalu memikirkannya waktu itu. Orang-orang mencoba menenangkanku agar aku berhenti menangis dan meratap.

Aku termenung, memikirkan banyak kenangan semasa hidup suamiku dan sebelum kepergiannya. Karena mata mulai lelah menangis, aku pun tertidur di dekat jenazah suamiku. Anak bungsuku tidur di sampingnya, memeluknya begitu erat seakan-akan bapaknya masih hidup dan sedang tertidur. Matanya terpejam, tapi air matanya terus saja mengalir. Kesedihan begitu tampak di wajahnya, sebabg baru dua minggu lalu ia wisuda, menyelesaikan kuliahnya, dan baru merayakan ulang tahunnya, kini ia harus berhadapan dengan perpisahan yang menyakitkan.

Tidak terasa sudah pagi, orang-orang pada sibuk mengurusi jenazah suamiku. Sebelum dimandikan dan dikuburkan, tetangga-tetangga kami datang untuk membacakan surah Yasin, doa ataupun hanya sekedar mengucapkan rasa belasungkawa. Setiap kali orang menyalamiku, aku tidak mampu membendung air mataku. Rasanya sesak sekali. Anakku-pun satu per satu menyalamiku dan memelukku, mengatakan padaku untuk terus bersabar dengan apa yang telah terjadi hari ini.

Kudengar sayup-sayup orang bercerita tentang suamiku yang beberapa hari belakangan ini tidak keluar rumah karena ia hanya mampu berbaring sebab sakit dan mereka rindu akan sosok suamiku. Aku pun tentu saja merindukannya. Mereka bertanya tentang apa sebenarnya penyakit suamiku dan anakku yang menjelaskan dengan tenang. Anak bungsuku terus saja menangis di depan jenazah bapaknya. Ia tidak berkata apa-apa selain menangis. Terus saja air matanya mengalir dengan begitu derasnya. Melihat itu, anak keduaku menghampirinya.


(bersambung)


Jumat, 01 November 2019

Seminggu Sebelum Kepergian

Aku merasa sudah tidak  bisa mengeluarkan air mata lagi. Aku masih tidak menyangka bahwa tubuh yang ditangisi oleh kedua anakku, menantu dan kedua cucuku adalah jenazah suamiku. Aku merasai kehilangan yang sangat besar. Begitu juga anak-anakku dan cucu-cucuku. Jalanan begitu lenggang, seolah memberikan kami kemudahan untuk bisa sampai ke rumah segera. Sirine ambulans seperti sengaja berteriak di telingaku dan menyakitkan otakku.

"Buk, opung kiki udah meninggal," begitu kudengar menantuku menelepon tetangga kami. Kemudian dan seterusnya sampai rumah yang terdengar hanya isakan tangis. Kedua anak laki-lakiku membawa motor untuk mengawal ambulans. Aku hanya bisa menatap nanar. Sungguh tatapan yang benar-benar kosong. Sesampainya kami di gang rumah, telah banyak orang-orang berdiri melihat ke arah ambulans. Mereka seperti menyambut datangnya sosok yang sangat dirindukan.

Ambulans berhenti di depan rumahku. Seketika aku menerit histeris saat turun dari mobil itu. Pintu belakang ambulans dibuka. Kedua anakku, menantu dan cucuku keluar dari pintu kiri ambulans. Lalu jenazah suamiku digotong oleh kedua anak laki-lakiku dan beberapa tetangga. Rasanya aku ingin mati saja saat itu. Ada banyak hal yang kusesali saat dia hidup. Aku ingin memperbaiki semuanya bersama suamiku tercinta, tapi apa dayaku, dia telah tinggalkan kami semua. 

"Belum puas aku mengurusmu waktu sakit," teriakku waktu itu. Tentu saja membuat tetanggaku langsung memelukku dan menasehatiku untuk tidak meratap. Begitu juga anak laki-lakiku yang menuntunku masuk ke dalam rumah.
"Jangan gitu, Mak. Nggak boleh mamak teriak-teriak, nanti mamak sakit."
Tapi aku terus juga menangis seolah tidak memperdulikan orang-orang di sekitarku. Aku merasa menjadi orang paling sedih di dunia.

Duduklah aku di samping jenazah suamiku. Aku melihat aura wajahnya yang begitu berbeda dengan ketika ia tidur. Pasti lah seperti itu, karena ia memang tidak sedang tidur. Kulihat anak bungsuku juga begitu terpukul atas kejadian ini. Apalagi tadinya dia menelepon dan bilang mau menyusul ke rumah sakit sepulang kerja, tapi aku cegah karena waktu itu kulihat keadaan suamiku tidak begitu parah. Anakku bisa datang besok harinya, begitu pikirku. Kudengar dia berkata sambil menangis, "Cuma aku anak bapak yang belum lihat bapak di rumah sakit. Maafin aku, Pak."


bersambung ...

Kamis, 31 Oktober 2019

Surah Luqman

Dari 114 surah yang ada di dalam Al-Qur'an, yang mana sih yang paling kamu sukai? Memang, semua surah itu bagus, tapi pasti kamu punya surah favorit kan? Dianggap favorit mungkin karena kamu lebih mudah menghafalnya, atau kamu suka mentadabburinya yang kebetulan sangat berhubungan dengan permasalahan hidupmu. Jadi, coba kasih tau aku, yang mana dan kenapa?

Aku sendiri lebih suka baca Surah Luqman. Dulu, waktu aku SMA, aku belajar ngaji sama seorang Qori. Aku ngaji di rumah temanku, jadi kami itu ada lima orang. Guru ngaji kami itu namanya Bang Fadli. Bang Fadli ngajak kami sama-sama baca beberapa surah dengan irama seni baca Al-Qur'an yang beragam. Irama-irama itu bernama  Bayati, Shoba, Hijaz, Nahwand, Rast, Jiharkah, dan Sika. Waktu Bang Fadli menuntun kami untuk baca surah Luqman dengan nada Bayati, aku langsung kayak tersentuh gitu. Entah karena alunannya atau karena itu pertama kalinya baca Surah Luqman.

Pulanglah aku ke rumah setelah ngaji bersama itu. Aku baca-baca ulang apa yang diajarkan Bang Fadli ke kami tadi. Terus aku bukalah Al-Qur'an terjemahan, aku baca terjemahan surah Luqman, maknanya indah banget. Sampai sekarang, setiap kali baca Surah Luqman, pasti nangis. Aku nggak tau kenapa, mungkin isinya sangat sesuai dengan apa yang kuhadapi dalam hidup ini. Membacanya seperti mendapat jawaban dan solusi atas permasalahan hidup. Ya, memang demikianlah Al-Qur'an diturunkan. Benar-benar sebagai pedoman.

Di sini aku mau nulis beberapa ayat dalam surah Luqman yang selalu buat aku nangis setiap kali baca terjemahannya;

1. Surah Luqman ayat 12
"Dan sungguh, telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Dalam waktu-waktu tertentu, aku suka banget banding-bandingin diriku ke orang lain. Misalnya, setiap aku menulis, aku berpikir bahwa tulisanku nggak sebagus orang lain. Ketika aku bercermin, kulihat diriku enggak secantik orang lain. Ketika aku punya banyak teman, kukira temanku tidak akan pernah sebanyak teman orang lain. Dan  dari penggalan ayat yang ku-bold itu, aku selalu tersadar untuk lebih bersyukur. Menerima diri sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Setiap kali perasaan rendah diri dan membanding-bandingkan itu muncul, setiap itu juga aku teringat sama ayat itu: untuk lebih bersyukur.

2. Surah Luqman ayat 14
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."

Banyak sekali ayat dalam Al-Qur'an yang membahas tentang bagaimana harusnya kita berbakti pada orangtua. Termasuk salah satunya surah Luqman ini. Berbuat baik ke orangtua dan bersyukur atas apa yang telah mereka berikan pada kita. Katanya orangtua itu wakil Tuhan. Ridho mereka juga merupakan Rridho-Nya. 

3. Surah Luqman ayat 16
"(Luqman berkata): 'Hai nakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui."

Aku suka banget sama ayat ini. Di mana Luqman berkata, "Hai anakku," aku berasa kayak sedang dinasehati langsung oleh seorang ayah yang begitu mengasihi dan menyayangi anaknya dengan melimpah-limpah. 

4. Surah Luqman ayat 17
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."

Kata-kata yang aku bold itu selalu jadi motivasi aku ketika aku berada dalam keadaan yang drop  banget. Ketika aku merasa beban dan masalah hidup yang menimpa terlalu menyakitkan buatku, dan aku baca ini, seketika nangis nggak henti-henti. Kesel sama diri sendiri yang ketika ada masalah bukannya banyak bersabar, malah banyak mengeluh. Dan ayat ini sungguh luar biasa dalam menghilangkan segala bentuk kegalauan itu. Ya walau kadang rasa sedih akan datang pada waktu-waktu tertentu, setidaknya dengan membaca ayat ini, aku belajar buat lebih sabar dan tentu saja belajar survive juga.

5. Surah Luqman ayat 20
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nkmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan."

Ayat ini juga sebagai pemicu semangatku untuk terus hidup dan bersyukur. Karena Allah sudah begitu baik untuk memberikan apa-apa yang ada di diriku.


Jadi, itu ya beberapa ayat dari surah Luqman yang aku sangat suka. Di sini aku bukan mau menafsirkan ayat-ayat itu ya, aku cuma mau ungkapin apa yang jadi pemahamanku tentang ayat-ayat itu dan kenapa aku begitu menyukainya.